Iriban. Desa Branjang adalah sebuah desa kecil yang ada di utara lereng gunung Ungaran, memiliki 5 (lima) dusun dan masuk dalam wilayah Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten semarang, Provinsi Jawa Tengah. Jika dilihat dari bentuk topografinya, Desa Branjang termasuk daerah dataran tinggi dengan ketinggian 500 – 600 dpl. Desa Branjang mempunyai potensi alam yang bagus untuk sektor pertanian, khususnya sektor padi, palawija dan buah. Dalam perkembangannya, para petani di Desa Branjang masih menjunjung budaya adat dan kearifan lokal. Terutama dalam menjaga sumber kehidupan, yaitu air.
Cerita tentang Iriban
Air adalah sumber kehidupan, air merupakan kebutuhan pokok setiap individu sehingga perlu diadakan perawatan dan pelestarian sumber air. Salah satu upaya warga Desa Branjang untuk merawat sumber air adalah dengan IRIBAN. Iriban sendiri berasal dari kata irib–irib atau urub–urub atau ngurip-urip yang bermakna menghidupi atau bisa disebut juga menjaga kehidupan. Menjaga kehidupan di sini dimaksudkan memenuhi kebutuhan hidup dengan sumber daya alam yang ada di sekitar kita. Karena sumber daya alam sangat membutuhkan air, maka yang perlu kita jaga adalah sumber air/ sumber kehidupan. Jadi, iriban adalah budaya bersih – bersih sumber dan aliran air untuk merawat dan menjaga sumber kehidupan atau air.
Tradisi budaya iriban adalah tradisi warisan leluhur yang ada di lereng Gunung Ungaran. Biasanya dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam setahun saat peralihan musim rendeng (penghujan) ke musim ketigo (panas). Dalam pelaksanaan iriban, setiap dusun di Desa Branjang memiliki waktu pelaksanaan yang berbeda-beda. Waktu tersebut telah ditentukan berdasarkan hari dan pasaran jawa yang telah disepakati oleh leluhur terdahulu yang menjadi aturan turun-temurun sampai sekarang. Tempat pelaksanaan iriban adalah di sumber mata air dan sepanjang aliran airnya. Warga yang ikut iriban adalah setiap warga yang ikut menikmati aliran airnya.
Pelaksanaan Iriban
Warga dusun yang akan menyelenggarakan iriban akan datang berbondong bondong menuju aliran sungai tempat dilaksanakannya iriban, ada yang membawa cangkul, ada yang membawa sabit, ada yang membawa nasi dan sayur gudangan lengkap dengan lalapan serta air minum dan yang utama ada warga yang membawa ayam jantan yang masih hidup. Tanpa berlama-lama warga dengan sigap langsung gotong royong membersihkan aliran dan sumber air, menyangkul dan meratakan tanah aliran air, membuang sampah, memotong rumput dan semak belukar yang mengganggu aliran air.
Gotong Royong
Mereka bergotong royong, bahu membahu membersihkan aliran air tersebut. Dan di sumber air diadakan ritual pemotongan ayam jantan. Ayam tersebut harus dipotong tepat di atas aliran air tempat iriban. Darahnya dialirkan di atas air tersebut, kemudian ayam dibelah dan diambil bagian dalamnya seperti usus, jantung, dan hatinya. Kemudian ayam itu dicuci di aliran air tersebut, kemudian jeroan ayam tadi juga dibersihkan dari kotoran, selanjutnya setelah bersih bagian jeroan ayam dimasukkan ke dalam bumbung/ bambu untuk tempat memasak. Ayam yang sudah bersih dari jeroan dan masih ada bulunya langsung dibakar di atas bara api bersamaan dengan bumbung tadi.
Setelah selesai membakar ayam, ayam dipotong-potong dan khusus untuk Brutu / bagian Anus ayam dipotong kemudian ditaruh di atas aliran sungai, setelah itu jeroan yang ada di bumbung diambil dan dipotong-potong, kemudian di campur dengan sayur gudangan / urap. Saatnya nasi, sayur gudangan, lauk dan ayam bakar digelar (ditaruh) di atas daun pisang. Setelah persiapan untuk bancaan (makan bersama) selesai disiapkan dan warga juga sudah selesai bersih-bersih aliran air. Maka warga berkumpul di dekat sumber air untuk makan bersama (bancaan). Sebelum bancaan dimulai maka tetua adat memberikan sambutan dan memberi wejangan (petuah). Dalam kesempatan ini, ada 2 (dua) tempat yang melakukan kegiatan iriban yaitu di jalur irigasi Dawang pada hari Sabtu wage 08 Agustus 2020 dan di jalur irigasi Seklesem pada hari Sabtu pon 15 Agustus 2020.
Cerita dari Sesepuh Desa
Dalam sambutan yang disampaikan oleh tetua adat, Mbah Suwardi menyampaikan, “Semoga dari perkumpulan iriban kita pada pagi hari ini, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, mendapatkan syafa’at dari Allah SWT dan mendapatkan fadhol (keutamaan) dari Nabi Muhammad SAW, semoga mendapatkan syafa’at dari Sunan Kali Jaga dan Nabi Khidir. Tujuan kita berkumpul di sini hanya mengharapkan do’a restu dari para leluhur zaman dahulu. Air yang ada di irigasi Segemawang ini diharapkan dapat memberikan hasil yang manfaat guna bercocok tanam di lingkungan sawah lingkungan blok tanah seklesem di sini, semoga bermanfaat di dunia dan akhirat.
Jangan sampai berselisih dalam penggunaan air, jika memang air bisa digunakan teratur sebagaimana yang tersedia untuk kita semua. Karena kita semua hanya meneruskan kakek moyang, jika kita semua menyepelekan para leluhur, kita bisa terlepas dari rahmat Allah. Jangan hanya menggunakan akal individu, namun harus dengan akal yang bermanfaat dunia akhirat melalui musyawarah yang cukup dan bermutu. Adapun kita semua berkumpul pada pagi hari ini, jangan sampai merusak kesepakatan yang telah tercapai, namun harus menjadikan kesepakatan itu bermanfaat dengan baik. Dan semuanya tidak boleh merasa benar sendiri apalagi menyalahkan orang lain. Mari kita berdo’a bersama, untuk do’a kita mintakan kepada mbah Muslimin”.
Setelah sambutan dari tetua adat sudah selesai maka dilanjutkan berdo’a bersama yang dipimpin oleh seorang ustadz, dengan harapan semoga sumber air ini memberikan penghidupan bagi masyarakat, mendapat keberkahan dari Allah SWT dan diberikan kelancaran dan hasil yang maksimal dari pemanfaatan air tersebut. Setelah selesai warga pun pulang bersama dengan penuh harap. Semoga tahun ini diberi rejeki yang melimpah seperti air yang melimpah tersebut.
Hikmah dari Iriban
Melihat kegiatan iriban ini menyadarkan kita bahwa iriban bukanlah hal sepele / remeh temeh yang hanya masalah air, tapi iriban adalah satu kearifan lokal desa Branjang yang memiliki banyak nilai dari aspek keagamaan, budaya dan sosial kemasyaakatan. Karena dalam iriban banyak filosofi, pesan moral dan karakter serta ciri jati diri khas Bangsa Indonesia. Iriban membuat kita mampu melihat indahnya akulturasi dan asimilasi dalam budaya, agama, dan kepercayaan yang dengan arif dan bijak dapat membaur menjadi satu tanpa perselisihan dan perpecahan. Bahkan dapat menyatukan dan menjadi kerukunan bersama. Sebagai contoh memotong ayam di atas aliran sungai dan menaruh brutu (anus ayam) di dekat sumber air itu notabene adalah budaya Hindu, Budha dan kepercayaan nenek moyang Jawa / Kejawen. Akan tetapi bisa dikemas dan melebur jadi satu dengan agama Islam dengan menambahkan ritual berdo’a bersama yang ditujukan kepada Allah SWT untuk mendapat keberkahan dan ridho-Nya. Selain dari segi akulturasi agama dan budaya, Iriban juga mempunyai nilai moral dan nilai sosial kemasyarakatan yang tinggi. Nilai moral terlihat dari semangat melestarikan budaya dari setiap individu warga Desa Branjang yang menjadi salah satu ciri jatidiri bangsa. Adapun nilai kemasyarakatan tampak dari gotong royong yang begitu jelas dapat kita lihat dalam prosesi penyelenggaraan tradisi Iriban.
Iriban tidak ada istilah gaji / upah tidak ada istilah bos atau buruh. Tidak ada istilah mandor, pemborong, vendor, developer / pengembang juga pemegang proyek atau pelaksana proyek. Yang sering kita dengar di setiap kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan hal fisik lainnya di masa dewasa ini. Karena dalam iriban semua mempunyai status yang sama dan hak yang sama pula. Mempunyai tujuan yang sama bahu membahu untuk kesejahteraan bersama. Bersahaja dan hidup harmonis dengan alam demi kesejahteraan bersama.